…….. Kawan siapakah kita ini sebenarnya?

Muslimkah, mukminin, muttaqin,

kholifah Allah, umat Muhammadkah kita?

Khoirul ummatinkah kita?
Atau kita sama saja dengan makhluk lain atau bahkan lebih rendah lagi

Hanya budak perut dan kelamin…….

(KH Ahmad Mustofa Bisri, Musytasar PBNU)

Waktu terus berjalan dan akan berhenti hanya atas kehendakNya. Manusia tidak akan pernah mampu menghentikannya. Detik menuju menit, menuju jam, menuju hari, menuju bulan, menuju tahun, hingga menuju abad akan terus bergerak maju. Dan tanpa terasa saat ini kita sampai kepada pergantian tahun hijriah untuk kesekian kalinya. Tahun 1438 hijriyah kita tinggalkan dan memasuki tahun baru 1439 Hijriyah.

Pergantian tahun hijriyah juga membawa konsekuensi semakin bertambah dan berkurang pula usia manusia. Ketika kita membaca puisi karya ulama sufi dan budayawan bangsa, KH Ahmad Musthofa Bisri (Gus Mus) di atas, dengan kalimat lain kita juga bisa bertanya : apakah bertambah pula keberkahan usia kita? Apakah selama hidup, kita sudah bisa menjadi manusia yang mampu memberi manfaat untuk sesama ?, Jangankan untuk orang lain, minimal kepada keluarga kita, kepada istri dan generasi penerus kita, apakah kita sudah pernah memberi manfaat ?. Tentu kita perlu melakukan refleksi diri di akhir tahun dan menjelang tahun baru hijriyah ini, seraya selalu memohon petunjuk, pertolongan dan ridla Allah SWT.

Sesungguhnya, tahun baru hijriah yang kita peringati setiap tahun terkandung sejarah dan nilai-nilai yang terus relevan pada konteks sekarang. Rasulullah SAW memang tak pernah menetapkan kapan tahun baru Islam dimulai. Begitu pula khalifah pertama, Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq juga tidak pernah mengeluarkan kebijakan tentang dimulainya tahun baru Islam. Jika dikaji dari sejarah peradaban islam, awal penanggalan hijriyah resmi diputuskan pada era khalifah kedua, Sayyidina Umar bin Khathab. Khalifah Umar bin Khathab merupakan sahabat Nabi yang terkenal membuat banyak gebrakan selama memimpin umat Islam, termasuk shalat tarawih dengan jumlah 23 rakaat.

Dalam catatan sejarah, Rasullullah SAW dan para sahabat mengembangkan risalah Islam di Mekkah banyak menemui tantangan dan hambatan yang cukup berat. Kaum Quraisy melakukan berbagai penganiayaan terhadap sahabat-sahabat beliau dengan tujuan agar Muhammad SAW menghentikan dakwahnya. Intimidasi dan penganiayaan semakin hari semakin keras, namun sungguh suatu keajaiban, semakin keras penindasan dan semakin keras penganiayaan, islam pun semakin berkembang. Tidak seorangpun orang yang begitu masuk Islam kemudian keluar atau menjadi murtad.

Puncak dari upaya penghadangan dari dakwah islam adalah skenario menangkap dan membunuh Nabi SAW. Dalam keadaan genting itulah, Rasulullah mendapat perintah hijrah ke madinah. Maka berhijrahlah beliau bersama para sahabat menuju yatsrib, yang sekarang menjadi kota madinah. Peristiwa hijrah inilah yang kemudian menjadi tonggak perjuangan dan gerakan umat Islam untuk pada periode berikutnya.

Peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dengan para sahabatnya ini tentu mengandung pelajaran dan hikmah yang sangat penting bagi umat islam di seluruh dunia. Di antara hikmah yang dapat dipetik adalah :

Pertama, hijrah merupakan strategi mempertahankan keimanan dan ketaqwaan.

Jika tidak memiliki keyakinan yang kuat atas kebenaran Islam, mustahil para sahabat secara sukarela mengikuti Rasulullah meninggalkan tanah kelahiran, meninggalkan harta dan segala benda yang dimiliki. Aqidah yang kuat, membuat mereka rela dan ikhlas berpisah dengan orang yang dicintainya. Selain membentuk sikap ikhlas, faktor keimanan dan ketakwaan juga membuat hidup seseorang menjadi terarah. Sebab keimanan dan ketaqwaan juga melahirkan kemampuan untuk mengendalikan nafsu dan memupuk kesabaran. Artinya hijrah dari makkah menuju yatsrib bukan mengandung makna rasa takut atas kejahatan yang dilancarkan oleh kaum Quraisy, melainkan lebih pada menghindari nafsu balas dendam dan perlawanan yang akan membawa korban lebih besar.

Kelebihan manusia dibanding makhluk Allah yang lain adalah diberikannya akal sekaligus nafsu. Jika akal yang menguasai manusia maka kebenaran akan menang dan meningkat ke derajat malaikat. Namun kalau nafsu yang mengendalikan dirinya maka sifat-sifat binatang yang menghiasi perilakunya. Sebagaimana firman Allah dalam surah At-Tin ayat 4 dan 5 :

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ. ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ

Artinya: “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.”

Dengan demikian, hijrah harus difahami sebagai upaya perjuangan Rasulullah SAW dalam merealisasikan nilai-nilai kemanusiaan universal yang berlandaskan asas ketuhanan dalam Islam (rahmatan lil ‘alamin). Dalam konteks kebangsaan Indonesia, sebagai pemeluk agama mayoritas, umat islam harus mampu mengembangkan misi islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam, bukan sebaliknya. Kekerasan, ekstremisme, terorisme, korupsi dan kejahatan lainnya bukan merupakan sifat dan perilaku umat islam.

Kedua, menjaga kesucian niat dalam perjuangan.

Pada waktu hijrah, tujuan dan kepentingan para sahabat tidak sepenuhnya sama. Melihat kecenderungan tersebut, akhirnya Rasulullah SAW berupaya mengingatkan para sahabat dengan bersabda :

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Artinya: “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena menginginkan kehidupan yang layak di dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.”

Oleh karena itu, semangat ibadah inilah yang harus menjiwai peringatan hijrah dan langkah memasuki tahun baru hijriah. Perubahan menuju yang lebih baik dalam segala hal merupakan sebuah orientasi kehidupan yang dikembangkan. Jika selama satu tahun terakhir atau selama hidup kita belum banyak memberi manfaat, maka kedepan kita harus berikhtiar untuk menjadi seorang muslim yang memberi manfaat untuk orang lain, menjadi warga negara yang baik yang memberi kontribusi untuk kemajuan peradaban bangsa. Mengedepankan kepentingan umum dan mengesampingkan kepentingan pribadi atau golongan.

Ketiga, membangun negara demokrasi, yang anti fanatisme kelompok atau suku.

Jika kita simak kembali, bagaimana penduduk Madinah menyambut orang-orang mekkah sebagai saudara. Kemudian mereka bergaul dalam suasana ukhuwah yang berlandaskan satu keyakinan bahwa semua manusia berasal dari Nabi Adam dan beliau diciptakan dari tanah. Maka bersatulah orang-orang muhajirin dan orang Anshar sebagai saudara yang diikat oleh akidah. Kaum muhajirin dan anshar ini mendapat jaminan dari Allah akan masuk surga.  Sebagaimana dalam surah At-taubah ayat 100 Allah Swt berfirman :

وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Artinya: “Dan orang-orang yang terdahulu yang pertama-tama (masuk islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridla kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.”

Lebih dari itu, pelajaran penting yang perlu petik dari hijrah Rasulullah adalah menginisasi terciptanya kesepakatan atau perjanjian bersama kepada seluruh penduduk Yatsrib yang dikenal dengan Piagam Madinah. Inti dan tujuan dari perjanjian ini adalah untuk kepentingan jaminan kebebasan beragama, keamanan, penegakan akhlak mulia, dan persaudaraan antar anggota masyarakat dalam sebuah negara. Prinsip-prinsip yang dakwahkan Rasulullah ini yang kemudian pada perkembangan berikutnya diadopsi oleh para pemikir barat menjadi sistem demokrasi.

Piagam Madinah itulah yang belakangan sering di distorsi dan direduksi oleh segolongan umat islam tertentu untuk menjadi dasar pendirian khilafah islamiyah. Oleh karena itu tujuan dari piagam madinah tentu masih relevan kita terapkan hingga sekarang. Pengertian hijrah secara harfiah bukan hanya bermakna “pindah tempat”, melainkan juga pindah orientasi: dari yang buruk menjadi yang baik, dari yang baik menjadi lebih baik. Dan Rasulullah meneladankan perubahan tersebut tak hanya untuk dirinya sendiri tapi juga untuk masyarakat secara kolektif, untuk seluruh umat manusia dan negara bangsa di dunia.

Walhasil, seraya selalu memohon maghfirah Allah SWT, mari kita selalu saling mendoakan sesama umat islam, semoga pergantian tahun hijriah membawa keberkahan bagi umur kita. Belajar dan berkaca dari peristiwa hijrah Rasulullah yang monumental lengkap dengan nilai-nilai positif di dalamnya. Kita juga memohon kepdaNya, agar kita selalu diberi pentujuk agar menjadi warga negara yang lebih baik lagi, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wallahu a’lam.

Mohammad Fatah Masrun

Wakil Ketua PCNU Tulungagung