Oleh: KH Ubaidillah Shodaqoh

Sebagai Nahdliyyin saya sering bersentuhan dengan Banser. Pengajian rutin, akbar, karnaval, penanggulangan bencana, mantu sampai parkirpun mereka terlibat. Dus, saya sebagai warga negara merasa kapiran kalau tidak ada Banser.

Saya sering iseng menggoda mereka dengan meminta rokok. “Mas, minta rokoknya, mas,” kataku.

Mas Banser itu pun meraba-raba kantongnya di baju tebal seragamnya. Satu menit kira-kira dia baru berhasil mengeluarkan bungkusan rokok. Ketika disodorkan padaku, ternyata tinggal dua batang yang sudah bengkong hampir putus karena tertekan-tekan dalam kantong sempitnya. Itu pun Dji Samsoe yang dapat diisap sampai batas maksimal karena tidak berfilter.

Aduh…, gagah-gagah demikian rokoknya eceran.

Betul juga guyonan KH Hasyim Muzadi. Mereka hanya mampu membeli rokok eceran. Dalam acara-acara pengajian dan lainnya mereka pun diberi konsomsi paling akhir. Ya, kalau snack dan makanan besar sudah cukup untuk tamu-tamu dan jamaah tentunya. Kalau tidak, ya makan seadanya.

Pernah ketika saya ndereake pak kiai di kabupaten Semarang. Ia dijemput delapan Banser yang menaiki empat motor. Ada yang gendut, gagah, tapi motornya bebek kuno Yamaha. Untuk melancarkan perjalanan kiaiku, empat pembonceng membawa peluit satu-satu. Mereka meniup bergantian untuk menyibak kemacetan jalan. Ya, jangankan sirine, sumpritan saja kayaknya sudah berkarat.

Bayangkan, malam mengawal dan mengamankan acara. Pagi mereka harus bekerja mencari nafkah. Ada tukang panggul, buruh tani, buruh pabrik, guru, tukang batu atau kuli batu. Demi khidmah pada guru dan kiai, mereka rela berpayah-payahan. Mungkin di rumahnya hanya tersedia beberapa liter beras saja. Tapi juga ada dosen, pedagang, dan bahkan doktor yang golongan ini sebagai pendonor cigaret atau jajan mereka.

Selama ini, kemana pun saya blusukan di Jateng, selalu menjumpai Banser. Setiap keramaian di Pantura maupun Jawa bagian selatan. Dalam penanggulangan bencana. Masyaallah, tanpa upah, tanpa bayaran, mereka berkhidmah pada masyarakat di lapisan apa pun.

Hah… kalau sejarah perjuangan membela negara janganlah bertanya lagi. Cikal-bakalnya selalu aktif melawan penjajah. Apalagi masa revolusi 65. Betapa besar jasanya meskipun setelah lahir Orde Baru, mereka digencet segencet-gencetnya, namun tak melawan tak mengeluh, tetap berkhidmah pada masyarakat.

Kini ketika NKRI terancam, mereka pun tak mau bertumpang dagu pura-pura dungu. Nahi munkar dengan mencegah provokator kerukunan umat yang berkoar-koar di masjid. Mereka tidak tega ulamaknya diperolok-olok dan dijelek-jelekkan sebagai ahli bid’ah. Mereka tidak rela Pancasila sebagai kesepakatan umat dilecehkan. Bukan hanya rokok dua gelintir taruhannya, tapi juga nyawa mereka.

Nah, meskipun ada beberapa tokoh di Jakarta yang tidak simpati pada langkah yang diambil kawan-kawan Banser dan bahkan sinis dan menyebarkannya seantero dunia lewat dunia maya, namun bersabarlah kawan-kawan semua bahwa ganjaran Gusti Allah Ta’ala atas keiikhlasamu menjaga NKRI sebagai rumah pengamalan Islam Aswaja NU, jauh lebih berharga dan banyak dibanding dengan tepuk tangan riuh dan pujian para politisi di pusat.

Ser, Banser, tetaplah terukur dan terarah, ikuti komando pimpinanmu dan nasihat para ulama kyai. Lillahi Ta’ala… Lillahi Ta’ala…Lillahi Ta’ala.

Ser, Banser, semoga amalmu diterima oleh Gusti Allah, dan rizekimu lancar sehingga dapat memondokkan atau menyekolahkan anakmu sampai jadi profesor, dan yang jelas semoga rokokmu tidak dibeli dengan harga eceran.