Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Pesantren menjadi pusat pendalaman ilmu-ilmu agama Islam (tafaqquh fiddin). Di dalam pesantren di didik dan dipersiapkan menjadi kader-kader ulama, da’i, muballigh, ustadz untuk kemudian mengabdikan diri di tengah masyarakat luas.

Dibandingkan dengan lembaga pendidikan Islam yang lain, pondok pesantren memiliki ciri khas. Kekhasaan pesantren terlihat dari konsistensinya menyelenggarakan program kajian ilmu-ilmu agama Islam yang bersumber pada kitab-kitab berbahasa Arab. Notabenenya kitab-kitab tersebut disusun pada zaman pertengahan yang lebih dikenal dengan nama kitab kuning (kutub at-turats).

Seiring dengan perkembangan zaman, penggunaan kitab kuning sebagai literatur utama di pesantren mulai berkurang. Indikator utamanya adalah terdapatnya sebagian alumni pesantren yang kurang mampu mendalami ilmu-ilmu agama Islam dari sumber-sumber utamanya. Fakta ini tentu menjadi ancaman besar bagi keberlangsungan proses dakwah Islam khususnya menyangkut transfer ajaran. Hal demikian jika dibiarkan bisa mengakibatkan kemunduran peradaban Islam tidak hanya di Indonesia melainkan Islam dunia.

Nahdlatul Ulama merupakan organisasi sosial keagamaan yang memiliki kepedulian amat besar terhadap gejala tersebut. Kepedulian itu tentu sangat beralasan mengingat basis dan penyangga utama dari Nahdlatul Ulama adalah Pondok Pesantren. Guna mengantisipasi terjadinya kemerosotan kualitas santri pondok pesantren, NU telah berupaya melakukan berbagai langkah strategis. Salah satu langkah yang di maksud adalah menggalakkan kembali tradisi lomba baca kitab atau yang lazim di kenal dengan istilah Musabaqoh Qiroatul Kutub (MQK).

Ikhtiar dalam bentuk MQK juga digalakkan oleh keluarga besar Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Tulungagung. Melalui lembaga Rabithah Ma’ahid Islamiyyah (RMI), pada tahun ini NU Tulungagung kembali menyelenggarakan MQK bersamaan dengan peringatan Hari Santri Nasional tahun 2018. Sebagai organisasi penjaga Ajaran Islam Ahlussunnah Waljama’ah, NU berharap MQK bisa menjadi wasilah untuk meningkatkan kembali perhatian dan kecintaan para santri untuk terus mempelajari kitab-kitab kuning (kutub at-turats) sebagai sumber utama kajian ilmu-ilmu agama Islam.

Konsep MQK secara teknis dilaksanakan oleh RMI dalam bentuk kegiatan perlombaan praktek membaca, menterjemahkan dan memahami kitab-kitab kuning (Kutub At-turats). Peserta dari MQK adalah para santri utusan dari seluruh pondok pesantren yang ada di Kabupaten Tulungagung. Antar peserta utusan dari masing masing pondok pesantren diberikan ruang dan kesempatan untuk unjuk kebolehan dan beradu kemampuan dihadapan Dewan Juri. Penilaian akhir sepenuhnya mutlak ada di tangan dewan juri dan keputusan dewan juri tidak bisa di ganggu gugat.

Pada hari Sabtu, 20 Oktober 2018 kemarin ratusan santri dari berbagai pondok pesantren di Tulungagung tampak memenuhi serambi dan aula pondok pesantren MIA Tulungagung, tempat dimana MQK dilangsungkan. Maksud kedatangan ratusan santri ini tak lain adalah untuk menyaksikan muthola’ah kitab kuning yang akan dibaca kawan kang santri dihadapan dewan juri.

MQK tahun ini diikuti lebih dari 160 santri baik putra maupun putri. Mereka berasal dari beberapa pondok pesantren dan madrasah diniyah di kabupaten Tulungagung. Tercatat nama-nama Pondok pesantren besar maupun kecil yang mengirimkan delegasinya dalam lomba kali ini, seperti PPHM Ngunut, PP. MIA, PP. Al Falah Trenceng, PP. Daruttaibin Campurdarat, PP. Al Fattahiyah, PP. Darunnajah Bandung, PP. Al Fattah Mangunsari, PP. Miftahul Ulum Karangrejo, dan lain sebagainya.

Lomba baca kitab kuning tahun ini dibagi dalam enam kategori, yaitu fiqh dewasa putra dan putri dengan kitab fathul qorib sebagai bahan bacaannya. Kemudian kategori fiqh anak-anak putra dan putri yang harus membaca kitab mabadi fiqhiyah juz 3. Berikutnya, kategori aqidah dewasa putra dan putri yang harus membaca dan memahami kitab ad durar as saniyyah karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Dewan juri yang menilai kemampuan membaca dan memahami kitab turats yang dilombakan berasal dari alumni-alumni pesantren yang sudah teruji kemampuannya dalam mengkaji kitab kuning.

Sederetan nama tokoh alumni pesantren yang ditetapkan menjadi dewan juri notabenenya adalah para kyai muda Tulungagung. Diantaranya ada nama KH. Bagus Ahmadi, Kandidat Doktor Manajemen Pendidikan Islam IAIN Tulungagung yang juga menjabat sebagai Ketua RMI NU Tulungagung. KH. Zainul Fuad, Alumni PP Lirboyo yang saat ini menjabat ketua LBM NU Tulungagung. KH. M. Syafi’ Mukarrom, Alumni PP Hidayatul Mubtadiien Ngunut, ia menjabat ketua LTN NU Tulungagung. Kemudian K.M. Anang Muhsin, Ahli Fikih yang juga menjabat wakil katib syuriah PCNU Tulungagung, KH Mukhotib, Kyai Fatchurroziq dan lain sebagainya.

Kriteria penilaian dewan juri didasarkan pada tiga aspek, yaitu kelancaran membaca atau fashahatul qiroah, kebenaran membaca atau shihhatul qiroah, dan pemahaman makna atau fahmul ma’na. Masing-masing peserta membaca kitab sesuai maqro yang telah diundi selama tiga menit, dilanjutkan menterjemah teks yang telah dibaca selama dua menit. Selanjutnya sesi pertanyaan dari juri terkait dengan i’rab, sharf, dan pemahaman kandungan makna kalimat yang dibaca.

Setelah melalui penilaian yang cermat dari para juri, lomba yang dimulai pukul 9 hingga 16.30 WIB itu menghasilkan beberapa pemenang yang diklasifikasikan sesuai kategorinya. Masing-masing kategori dipilih juara 1 sampai 3, sehingga total peserta yang berhak mendapatkan tropi, piagam penghargaan, dan uang pembinaan sebanyak 18 santri. Penyerahan tropi dan sebagainya akan dilaksanakan besok Senin, 22 Oktober 2018 bertepatan dengan Apel peringatan Hari Santri Nasional kabupaten Tulungagung 2018 di halaman kantor bupati Tulungagung.

Ketua RMI selaku koordinator panitia berharap melalui ajang lomba baca kitab kuning ini akan meningkatkan semangat dan ghirah santri dalam mengkaji kitab warisan ulama dalam berbagai disiplin ilmu yang selanjutnya mampu memperdalam pemahaman santri akan kitab-kitab salaf baik secara tekstual maupun kontekstual. Karena, dengan mengkaji kitab karya ulama klasik tersebut akan menyambung sanad keilmuan santri kepada para masyayikh dan ulama pendahulu sehingga otentisitas keilmuan santri dapat terjaga dan mempunyai landasan yang kuat karena didasarkan kepada literatur yang valid.

Panitia juga berharap kegiatan semacam ini tidak hanya digelar pada momentum peringatan Hari Santri saja, tetapi perlu diperbanyak ajang serupa di berbagai kesempatan, semisal dalam peringatan Harlah NU, Hari Jadi Kabupaten Tulungagung, dan lain sebagainya, sehingga akan memicu semaraknya kajian kitab kuning di Tulungagung./BAMIA/MFM/