Hujjatul Islam Al-Imam Al-Ghazali berpendapat, bahwa untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, seseorang itu hendaklah mempunyai ilmu dan kemudian wajib diamalkan secara baik dengan penuh keikhlasan. Dengan ilmu manusia berpeluang untuk mendapatkan derajat yang lebih baik. Dan hanya dengan ilmu eksistensi manusia dapat diejawantahkan secara sempurna.

Dalam praktek kehidupan sehari-hari, orang yang berilmu dan yang tidak berilmu status sosialnya juga berbeda. Di dalam Al-Qur’an Allah SWT membedakan antara orang yang mengetahui dan tidak mengetahui, keduanya tidak sama. Firman Allah SWT dalam Surat Az Zumar ayat 9.

ِِ قُل هَل يَستَوِي الَّذِينَ يَعلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَ يَعلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُوا الأَلبَابِ

“Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran”.

Mencari ilmu merupakan kewajiban bagi seorang muslim baik laki-laki maupun perempuan. Terdapat banyak ayat di dalam Al-Qur’an ataupun Hadis Nabi yang menunjukkan tentang kewajiban seorang muslim untuk tholabul ‘Ilmi. Pertanyaannya bagaimana  ilmu atau pengetahuan tersebut bisa diperoleh oleh setiap orang muslim.

Sumber Pengetahuan

Dalam tradisi filsafat barat, setidaknya terdapat empat kecenderungan besar dalam menyikapi proses ilmiah yaitu tentang sumber ilmu pengetahuan. Keempat aliran itu adalah rasionalisme, empirisisme, kritisisme, dan intuisionisme. Aliran-aliran ini bisa kita kenali secara sederhana sebagaimana berikut ;

Aliran Rasionalisme

Aliran rasionalisme kemunculannya selalu dikaitkan dengan filosof abad ke-17 dan 18, seperti Rene Descartes, Baruch Spinoza, dan Gottfried Leibniz. Meskipun sebenarnya akar dari pemikiran ini dapat dilacak sampai filsafat Yunani. Paham ini berpendapat bahwa pada hakikatnya ilmu itu bersumber dari akal budi manusia.

Rene Descartes mengatakan bahwa dalam jiwa manusia terdapat ide bawaan (innate ideas) yang dinamakan substansi yang sudah tertanam. Lebih lanjut Descartes menyebut tiga hal yang disebut sebagai ide bawaan; pemikiran, Tuhan, dan keluasan (ekstensi). Adapun ilmu-ilmu lain yang dicapai manusia pada hakikatnya adalah derivasi dari ketiga prinsip dasar tersebut.

Kaum rasionalis berpendapat bahwa sumber ilmu adalah akal melalui deduksi ketat seraya mengabaikan pengalaman. Hal ini, menurut mereka, karena ilmu adalah sesuatu yang sudah ‘built in’ dalam jiwa manusia dan tugas kita adalah mencapainya melalui deduksi. Karenanya, ilmu yang dihasilkan oleh aliran ini—biasanya dianggap—bersifat universal. Kaum rasionalis mendalilkan bahwa premis-premis yang digunakan dalam membuat rumusan keilmuwan harus jelas dan dapat diterima. Aliran atau paham ini sering juga disebut sebagai idealism atau realism.

Kelemahan aliran ini adalah manusia tidak dapat memperoleh semua pengetahuan hanya melalui pemikiran. Kita bisa memikirkan sebuah Apel namun kita tidak akan dapat membayangkan rasanya. Otak kita tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan rasa atau membayangkannya.

Aliran Empirisme

Aliran ini berpendapat bahwa fakta empiris atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan, baik pengalaman yang bersifat batiniah maupun yang lahiriah. Aliran ini menutupi kelemahan dari aliran rasional yang hanya mengandalkan akal dalam membentuk pengetahuan.

Metode yang digunakan aliran empiris adalah induksi. Aliran ini menganggap bahwa pengetahuan manusia hanya didapatkan dari pengalaman yang konkret, dan bukan dari penalaran yang abstrak. Beberapa tokoh aliran ini seperti John Locke, George Barkeley, dan David Hume.

Kelemahan dari paham ini adalah pengalaman juga tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Keterbatasan dapat berasal dari sisi indera manusia untuk menangkap fenomena, dan persepsi seseorang dapat berbeda dalam menerima sebuah pengalaman akibat adanya motivasi atau pengalaman sebelumnya.

Aliran Kritisisme (Metode Ilmiah)

Aliran kritisisme merupakan aliran yang berupaya mensitesakan dua kutub ekstrim sebelumnya yakni menggabungkan rasionalisme dan emprisme. Karenanya aliran ini juga disebut sebagai metode ilmiah. Pengetahuan diperoleh melalui penelitian yang sistematis, objektif, terkontrol, dapat diuji, yang dilakukan melalui metode induktif dan deduktif. Tokoh utama aliran ini adalah Immanuel Kant.

Pemikiran yang disampaikan oleh Kant berusaha untuk mengakhiri perdebatan yang terjadi tentang objektivitas pengetahuan antara rasionalisme Jerman, yang diwakili Leibniz dan Wolff, dan Empirisisme Inggris. Dalam usahanya, Kant berusaha menunjukkan unsur mana saja dalam pikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur mana yang berasal dari akal.

Berbeda dengan aliran filsafat sebelumnya yang memusatkan perhatian pada objek penelitian, Kant mengawali filsafatnya dengan memikirkan manusia sebagai subjek yang berpikir. Dengan demikian fokus perhatian Kant adalah pada penyelidikan rasio manusia dan batas-batasnya.

Aliran Intuisionisme

Jika ketiga aliran sebelumnya menekankan pentingnya akal dalam mencapai pengetahuan, aliran ini justru mementingkan intuisi. Penekanan terhadap intuisi ini tidak berarti bahwa mereka menafikan sama sekali peran akal dan indera. Mazhab ini menyatakan bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui penghayatan langsung lebih superior dan sempurna. Secara epistemologis, pengetahuan melalui intuisi ini diperoleh melaui pe’rasa’an langsung (dzawq) mengenai hakikat sebuah objek, bukan aspek lahiriah dari objek itu. Aliran ini dimulai oleh Henry Bergson.

Henry Bergson membagi pengetahuan menjadi dua macam; ‘pengetahuan mengenai (knowledge about)’ dan pengetahuan tentang (knowledge of). Yang pertama bersifat diskursif-simbolis, sementara yang kedua bersifat langsung.

Pengetahuan yang diperoleh dari intuisi merupakan pengetahuan yang tiba-tiba atau berupa proses kejiwaan dengan tanpa stimulus mampu untuk membuat pernyataan sebagai pengetahuan. Dalam islam, konsep yang berdekatan dengan intuisi adalah wahyu, yang dimaknai sebagai pengetahuan yang diperoleh langsung dari Allah SWT kepada pada Nabi dan Rasul.

Sementara itu, dalam perspektif Islam kita menemukan adanya perbedaan yang mendasar dengan pandangan filsafat barat dan sains modern. Dalam Islam, ilmu berasal dari Tuhan dan diperoleh melalui indera yang sehat, berita yang benar (khabar shadiq) berdasar otoritas, akal sehat, dan intuisi. Indera yang sehat merujuk pada persepsi dan observasi, yang dalam hal ini mencakup panca indera luar dan panca indera dalam.

Akal sehat yang dimaksud bukanlah terbatas pada elemen-elemen sensibel saja; atau mental yang mensistematisasi dan menafsirkan fakta dari pengalaman inderawi menurut susunan logis; atau yang memahami data dari pengalaman inderawi; ataupun yang mengabstraksi fakta dan data inderawi serta hubungannya; dan yang mengatur itu semua menjadi sesuatu yang bisa dipahami.

Akal sehat adalah semua hal diatas yang berfungsi secara harmonis dan tidak bertentangan. Akal (intellect) adalah substansi spiritual yang inheren dengan organ spiritual yang kita sebut hati, yang berfungsi menerima pengetahuan intuitif. Dengan demikian, dalam islam posisi akal dan intuisi adalah saling berhubungan.

Wasilah Pengetahuan

Dalam proses pencarian pengetahuan, memang boleh-boleh saja kita menggunakan segala macam wasilah atau alat bantu atau sarana dalam menuntut ilmu dan pengetahuan. Misalnya melalui buku, internet, audio, video dan lain lain. Akan tetapi untuk urusan ilmu pengetahuan agama khususnya, kita sangat penting mempunyai guru. Eksistensi guru dalam proses ilmiah berperan sebagai pusat verifikasi pengetahuan. Apalagi, dalam urusan studi ilmu agama syaitan tidak akan berdiam diri ketika melihat orang memahami Al Qur’an dan Hadits. Sehingga, dalam proses tranformasi pengetahuan kalangan pesantren kecendrungannya selalu memegang prinsip ;

“مَن لا شيخَ له؛ فشيخُه الشيطان”

Pengertiannya adalah ”Barangsiapa yang tidak punya guru, maka gurunya adalah syaitan”.

Oleh sebab itu, guru memiliki peran sentral dalam proses transformasi pengetahuan di lingkungan pendidikan pondok pesantren. Salah satu pendapat yang menguatkan prinsip kaum pesantren tersebut adalah pendapat Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy, quddisa sirruh. Dia memberikan tafsir QS.Al-Kahfi 60 ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203

Setiap orang yang belajar tidak kepada seorang guru, melainkan kepada buku saja, maka ia tidak akan menemui kesalahannya, karena buku tidak bisa menegur. Sebaliknya kalau belajar dengan guru, maka guru bisa menegur jika ia salah. Dengan kalimat lain, jika  ia tak faham ia bisa bertanya kepada sang guru, tetapi kalau belajar hanya melalui buku kemudian menemukan kesulitan (musykil), ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri. Jika hal demikian dibiarkan maka ilmu dan pengetahuan seseorang tersebut berpotensi mengalami distorsi bahkan kesesatan.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad). Orang yang membaca Al-Qur’an tanpa berusaha memahami maknanya bagaikan orang buta yang berjalan tanpa mengetahui sedikitpun jalan yang ia lalui.

Dalam perjalanan sejarah, telah terbukti bahwa umat Islam berselisih karena berbeda pendapat.  Akibat perselisihan pendapat, sesama umat islam bisa saling membunuh (bunuh membunuh), sehingga umat Islam hancur dari dalam yang dipicu oleh orang-orang yang merasa benar. Sebagian mereka menghukumi kafir kepada sebagian umat islam yang lain. Mereka merasa menjadi umat yang pasti masuk surga, padahal mereka mengikuti ulama di balik perpustakaan alias ulama dari kalangan otodidak (shahafi).

Fenomena di Indonesia belakangan ini, kita bisa menyaksikan secara langsung bagaimana media sosial menjadi ajang kontestasi ideologi keislaman. Berbagai opini dan wacana Islam begitu cepat menjadi viral, disebarkan melalui kanal-kanal online, menjadi pesan berantai di grup-grup jejaring sosial seperti Facebook, WhatsApp, dan Instagram. Umat Islam tiap hari dibombardir dengan perang dalil dan pemikiran (ghozwl fikr).

Berbagai macam isu, meski klasik seperti ucapan selamat Natal, pemimpin non-muslim, perayaan tahun baru, dan ‘ritual-ritual bid’ah’ menyesaki ruang-ruang publik, khususnya di media sosial. Antara kelompok yang pro dan kontra sama-sama berhujjah dengan Al-Qur’an dan hadits. Kalangan muslim awam yang tidak punya pondasi keilmuan yang kuat menjadi terombang-ambing dalam debat kusir yang berpotensi memancing tindakan anarkhi. Tidak sedikit dari mereka mengikuti 影梭 pandangan-pandangan ustadz-ustadz dadakan yang sering nongol di TV dan koran meski dengan kapasitas ilmu yang dangkal. Dengan mengutip sepotong-dua potong ayat, sebaris-dua baris hadits, para ustadz ini tampil bagaikan seorang mufti, yang dengan tanpa beban mengetok palu halal-haram. Mereka umumnya mengerti Islam, tetapi bermadzhab tekstualis (kebenaran hanya ada pada teks). Dan teks itu dipahami apa adanya, tanpa perlu ta’wil dan tidak butuh tafsir, tentu hal ini sungguh memprihatinkan.

Dengan demikian, berguru itu sangat penting dan lebih dari sekedar perlu. Tiada kata berhenti untuk berguru, untuk menimba dan mengasah ilmu. Dengan sanad keilmuan guru / mursyid yang mutawathir dan mutasil (conected) hingga Rosulullah SAW, kita akan mendapat ilmu pengetahuan yang benar (Shohih). Ilmu yang bisa menuntun kita meraih bahagia, di dunia dan akhirat. Ilmu yang bisa membawa kita semakin mendekat kepada sang maha pencipta. Ilmu yang bisa menjadi wasilah untuk kita masuk ke surga-Nya secara abadi.

Barangsiapa betawassul kepada kebaikan hendaklah dengan ilmu dan amal. Tidak ada tawassul kepada amal kecuali harus dengan ilmu dan kemudian diamalkan. Sekali lagi, Ilmu adalah permulaan dari kebahagiaan atau kenikmatan dunia dan akhirat.

إذا زادنى علما زادني فهما بجهلي

“Jika (Allah) menambahkanku ilmu maka (Allah) menambahkan pemahaman tentang kebodohanku”
(Imam Syafi’i).

Tegal-Ploso, 2 Juni 2017
Mohammad Fatah Masrun
abahfatah78@gmail.com