Wajah demokrasi Indonesia hingga saat ini masing sering diwarnai dengan berbagai fenomena yang kurang sejalan dengan ideologi Pancasila dan spirit demokrasi itu sendiri (Demokrasi Pancasila). Meluasnya praktek korupsi, pencucian uang, jual beli jabatan, money politik dalam pemilihan, dan tindak kejahatan lainnya merupakan fenomena yang menunjukkan adanya krisis politik yang cukup memprihatinkan dalam sejarah kehidupan politik dan demokrasi bangsa Indonesia. Secara sosial, masyarakat juga terfragmentasi dalam berbagai kelompok kepentingan yang sering kali berbenturan dan mudah dibenturkan, meski nota benenya lebih banyak disebabkan oleh adanya konflik politik di level elit.

Semua sepakat, krisis politik harus diakhiri, jika didiamkan dipastikan akan membayakan (dharar) eksistensi bangsa. Bahkan sebagian kalangan menyebutnya sebagai pemicu munculnya gerakan separatisme dan terorisme. Penulis beranggapan, krisis politik bangsa Indonesia terjadi sebagai bentuk manifestasi dari adanya kebangkrutan moralitas dan spiritualitas ruang publik. Bagaimana tidak, agama didefinisikan sesuai kepentingan politik, Tuhan diajak berpihak, bahkan siapa yang bakal masuk surga dan neraka yang merupakan hak Prerogatif Tuhan di ambil alih, sungguh luar biasa tapi menyedihkan. Oleh sebab itu, meluruskan pemahaman, memulihkan kembali ataupun menyegarkan ulang dimensi etik dan profetik agama dan politik dalam sebuah negara demokrasi menjadi sangat penting.

Spirit Demokrasi di Indonesia

Secara historis, teori demokrasi barat muncul berawal dari adanya gerakan kaum sekularis barat dalam rangka mencegah Gereja Katolik mengontrol dan memonopoli ruang publik. Gerakan ini terjadi sekitar pada abad ke-17 dan 18. Gagasan besar yang diusung dan ditawarkan oleh kaum sekularis barat adalah teologi Protestan dan teori reformasi yang bagi mereka dipandang sebagai solusi yang relevan dalam melawan hegemoni agama atas ruang publik.

Berbeda dengan apa yang terjadi di barat, jauh sebelumnya di Haramain (Makkah dan Madinah) telah terjadi proses sosial yang amat penting bagi peradaban sosial dan politik dunia hingga sekarang. Saat berdakwah di Makkah, Rasulullah SAW dan para sahabat mendapat tekanan yang sangat keras baik secara fisik maupun mental dari kaum quraisy. Nabi Muhammad SAW akhirnya mendapat perintah dari Allah SWT untuk melakukan hijrah ke Yastrib pada tahun 622 H.

Secara sederhana, hijrah Rasulullah SAW bisa dimaknai semata-mata untuk menghindari adanya konflik yang lebih besar dengan kaum Quraisy. Di Yastrib, Rasululllah dan para sahabat diterima dengan baik hingga menyatukan kaum Muhajirin dan Anshor dalam satu ikatan aqidah islam. Keragaman penduduk Yastrib menginspirasi Rasulullah untuk membentuk sebuah sistem dan tatanan sosial yang mampu mengakomodasi segala bentuk keragaman. Akhirnya, Rasulullah berhasil mengajak seluruh penduduk Madinah dari berbagai latar belakang suku, agama, ras dan warna kulit membuat kesepakatan atau perjanjian bersama yang kemudian dikenal dengan Piagam Madinah. Melalui Piagam Madinah, Nabi Muhammad SAW berhasil membangun kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang demokratis di tengah masyarakat yang plural dengan aliran ideologi dan politik yang heterogen. Semua penduduk merasa aman dan tenteram, kota Yastrib (Madinah) yang semula sunyi senyap berubah menjadi Kota Yang Bercahaya (Madinah Al-Munawarah).

Spirit kelahiran demokrasi yang terjadi di negara barat tentu menjadi tantangan yang serius jika dikembangkan di Indonesia sebagai sebuah negara yang plural, khususnya dalam konteks agama dan kepercayaan, termasuk dalam konteks mayoritas islam. Sejarah kebangsaan Indonesia tidak bisa disamakan atau persis sebagaimana yang terjadi di negara-negara barat. Jika dilihat dengan mata yang sehat dan hati yang jernih, betapa indah dan eloknya lukisan kebangsaan Indonesia. Bayangkan, suatu bangsa yang mampu mempertautkan solidaritas kultural yang merangkum lebih dari 200 kelompok etnis dan bahasa, yang tersebar di sekitar 17.500 pulau dari Sabang sampai Merauke, dengan kemampuan menghadirkan suatu lingua franca bersama yang mampu mengatasi isolasi pergaulan antar suku. Di seluruh dunia, hanya ada di Indonesia, bukan yang lain.

Masyarakat Indonesia patut bersyukur, hingga di era Pemerintahan Jokowo-Jusuf Kalla sekarang, tidak ada bentuk dominasi yang berdasarkan satu atau dua agama. Sebaliknya, kita menyaksikan ketulusan dan Kerelaan budaya mayoritas untuk tidak menerjemahkan diri menjadi budaya politik dominan sangat kuat. Misalnya sebagaimana yang ditunjukkan oleh Nahdlatul Ulama (NU) sebagai umat islam terbesar di Indonesia. NU adalah organisasi islam terbesar di Indonesia bankkan di dunia, yang terlibat secara langsung dalam proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara. Bagi NU, fakta sejarah ini menjadikan bangsa Indonesia sebagai sebuah negara yang menjadi tempat belindung seluruh warga dari etnic, agama, golongan dan warna kulit yang beragam sangat wajib hukumnya dijaga dan dipertahankan sampai mati. Diperkuat perkembangan mutakhir, teori-teori tentang kewargaan multikultural, seperti dari Will Kymnlicka, juga mengampanyekan pencegahan fusi dari budaya mayoritas ke dalam budaya politik dominan sebagai prasyarat bagi multikulturalisme yang kuat. Sehingga, Indonesia memiliki budaya toleransi yang semakin rasional, kokoh dengan akar yang kuat dalam bingkai negara kesatuan.

Menurut Shepard (1987), di Indonesia beragama secara kontemporer tidaklah berarti inkonsisten dengan apresiasi terhadap agama sebagai warisan budaya, dan bahkan boleh jadi menempatkan budaya ini sebagai komponen yang diperlukan bagi pembentukan identitas politik nasional. Terutama dengan tidak adanya otoritas tunggal keagamaan, ada sebuah konsekuensi bahwa agama tidak bisa memonopoli ranah publik. Sebaliknya, masing-masing agama atau representasi hukum syariat senantiasa didorong bersaing untuk mempengaruhi ruang publik. Dengan demikian, harus dibedakan antara Negara yang melindungi agama dan agama yang merepresentasikan negara.

Pada dasarnya, agama dan politik tidak harus dipisahkan sejauh sebuah negara bisa berposisi netral dan sanggup melindungi ekspresi setiap pemeluk agama. Inggris misalnya, memiliki beberapa undang-undang dan doktrin hukum berdasarkan hukuman hakim dan hukum adat (Common Law) yang mewajibkan negara melindungi iman kristen dari fitnah keji. Kemudian Israel, mempunyai ragam ordonansi yang melindungi praktek dan pengamalan ajaran Yahudi Ortodoks. Perlakuan yang hampir sama juga terjadi di Italia, memiliki sistem yang kompleks berupa konsesi dan proteksi yang diberikan kepada Gereja Katolik. Kata kunci yang harus dihindari sebenarnya adalah jika negara merepresentasikan ekspresi tunggal keagamaan, terlebih apabila terjadi di sebuah negara bangsa  yang plural seperti Indonesia.

Dimensi Etik dan Profetik Agama

Ketika posisi agama tersudut dari ruang publik ke ruang privat, memang fenomena yang muncul ternyata adalah ekspresi spiritualitas personal yang terpisah dari kehidupan publik. Sebaliknya, mazhab sekuler (liberalisme) memandang rendah nilai-nilai agama dan mengabaikan signifikansi kesalehan spiritual. Pada konteks demikian maka pada akhirnya yang muncul adalah spiritualitas tanpa memiliki akuntabilitas sosial dan politik, yang berlawanan secara diametral dengan dimensi etik dan profetik agama.

Dimensi etik, dapat dipahami sebagai bentuk penghayatan hubungan dengan Tuhan (Hablun Minallah), yang menuntut realisasi dalam bentuk pemikiran, tindakan dan perbuatan-perbuatan dalam konteks hubungan dengan orang lain (Hablun Minannas) dan alam sekelilingnya (Hablun Minal ‘Alam). Pemikiran, tindakan dan perbuatan orang beragama mengikuti norma-norma agama yang diyakini berasal dari hukum Tuhan sendiri. Maka terdapat kekhasan pola tingkah laku umat beragama sesuai dengan norma- norma agama itu. Pada konteks ini, hampir semua agama mempunyai norma seperti jangan membunuh, jangan mencuri (korupsi), jangan menghina, menghormati pemimpin, orang tua, guru, menghargai orang lain dan lain-lain.

Sementara itu, dimensi profetik agama menyangkut ikhtiar setiap pemeluk agama mewarisi sifat-sifat kenabian. Profetik (prophetical) yang mempunyai pengertian kenabian atau sifat yang ada dalam diri seorang nabi, manusia yang ideal secara spiritual-individual. Lebih dari itu, dimensi profetik juga menginspirasi manusia menjadi pelopor perubahan, membimbing masyarakat ke arah perbaikan dan melakukan perjuangan tanpa henti melawan penindasan. Misi profetik agama dalam sejarah islam bisa diilustrasikan sebagaimana Nabi Ibrahim AS melawan Raja Namrud, Nabi Musa AS melawan Fir’aun dan Nabi Muhammad SAW yang membentuk peradaban sosial yang adil, sejahtera, damai dan anti diskriminasi sebagaimana di Kota Madinah. Tokoh intelektual muslim modern asal Iran, Ali Syari’ati (2001) mengatakan bahwa para nabi tidak hanya mengajarkan bagaimana cara berdzikir dan berdo’a , melainkan mereka juga hadir ke muka bumi dengan suatu ideologi pembebasan.

Keterlibatan agama dalam ruang publik yang mengarah pada politisasi agama tentunya harus dihindari. Politisasi agama akan membuat kelompok tertentu merasa berhak untuk mengklaim Tuhan selalu berada di pihaknya. Pola keagamaan semacam ini akan cenderung mengarah pada sikap Triumphalisme, yakni merasa benar sendiri dan berorientasi pada hubungan eksternal yang berbahaya. Padahal, Tuhan itu tidak pernah partisan apalagi berposisi memihak kepada ekstrem kiri atau kanan. Oleh sebab itu, jika terdapat sebuah kelompok kepentingan (interest group) yang mencoba melakukan politisasi terhadap Tuhan untuk menjustifikasi kepentingan politiknya, maka hal itu merupakan bentuk korupsi spiritual.

Dalam kehidupan publik, kontribusi agama bukanlah membiarkan politik terfragmentasi atas dasar ideologi keagamaan yang membuat sifat maha kasih tuhan menjadi lenyap. Tetapi, kontribusi agama diukur dari seberapa besar dimensi etik dan profetik keagamaan mampu di dengar dan dipahami oleh seluruh interest group di suatu bangsa. Keimanan harus dibiarkan bebas menantang ideologi kiri dan kanan dengan cara menambatkan keduanya pada landasan moralitas. Jim Wallis (2005) menyebutkan, politik Ketuhanan (God’s Politics) tidak pernah partisan atau ideologis, akan tetapi sebaliknya menantang apa saja menyangkut dunia politik kita.

Politik ketuhanan mengingatkan kita tentang orang-orang yang kerap kali terabaikan dalam politik. Sebut saja adalah kaum lemah dan tertindas (mustadz’afin) yang identik miskin, terlantar dan tercampakkan. Politik ketuhanan menantang kepentingan-kepentingan nasional, etnis, ekonomi, dan budaya yang sempit serta memberi keinsyafan akan dunia yang lebih luas dan kreativitas ragam manusia sebagai ciptaan tuhan. Politik ketuhanan juga menantang segala bentuk moralitas yang selektif, yang menimbulkan standar ganda dalam aspek kemanusiaan.

Maka seyogyanya, perlunya menggalang sikap dan pemikiran yang sama (kalam wahid), yakni menjaga dan menyelamatkan ruang publik di negara bangsa Indonesia dari fundamentalisme literal (revivalis) yang mengkooptasi agama untuk politik partisan. Pada saat yang sama, ruang publik juga harus dijaga dan diselamatkan dari hegemoni fundamentalisme liberal yang ingin mengaburkan aspek keimanan dari kehidupan publik dan menolak nilai-nilai spiritual untuk menjadi jiwa politik manusia. Sikap ini harus menjadi komitmen bersama dan menjadi jihad semua pihak, khususnya antar umat beragama. Umat islam apalagi, harus menjadikan agama sebagai spirit perjuangan, mewujudkan misi etik dan profetik dalam membentuk tatanan sosial dan politik yang lebih beradab sebagaimana dicontohkan (Uswah) Rasulullah SAW.

Dengan demikian, pada satu sisi agama-agama dan kepercayaan dapat memberi kontribusi besar bagi penciptaan budaya demokrasi, dan pada satu sisi yang lain juga dapat menghancurkannya. Kata kuncinya tergantung pada dimensi keagamaan yang ditumbuhkan dan dikembangkan. Untuk membuat agama mampu mempengaruhi kehidupan demokrasi, yang harus dikembangkan adalah dimensi etis dan misi profetik agama yang bersifat universal, yakni kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan sosial demi terwujudnya kemaslahatan bersama. Wallahu A’lam Bis-Shawab

 

Oleh: Mohammad Fatah Masrun (Wakil Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Tulungagung Jawa Timur)