Siapa yang tak kenal KH Ali Shodiq Umman (alm). Di kalangan masyarakat Tulungagung dan sekitarnya, beliau termasuk salah satu ulama’ masyhur sekaligus pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi’in Ngunut.
Kiai Ali, begitu biasa disapa, dikenal sebagai tokoh yang cerdas, santun, sederhana dan konsisten (istiqomah) dalam memperjuangkan pendidikan di pondok pesantren. Salah satu sifatnya yang meononjol adalah rasa tawadhu’ (rendah hati) yang sangat tinggi terhadap para guru, ahli ilmu dan keturunan (dzurriyah)-nya.
Kiai Ali lahir pada tahun 1929 M di Desa Gentengan-Ngunut dengan nama Ali Shodiq, dari pasangan suami istri bernama Marci dan Umman yang bekerja sebagai kusir dokar berasal dari Desa Manyar Kabupaten Gresik.
Beliau adalah putra ke-7 dari 18 bersaudara, namun hanya 10 orang saudaranya yang hidup hingga dewasa. Sejak usia lima hari ia diasuh oleh pamannya bernama Imam Tabut dan istrinya Urip yang merupakan adik dari ibundanya. Dalam asuhan pamanya, Ali Shodiq kecil hidup berkecukupan, tetapi dalam keseharianya ia menunjukan pribadi yang santun dan sederhana serta merasa prihatin dengan kehidupan masyarakat Ngunut yang menyimpang dari nilai-nilai agama.
Ia belajar mengaji Al-Qur’an dan tata cara beribadah pertama kali kepada kyai desa bernama Kyai Unus. Karena tergolong pemuda cerdas, pada usia 15 tahun ia sudah mempelajari kitab Jurumiah dan kitab lainnya pada Kyai Mahbub di Desa Kauman-Ngunut. Melihat bakatnya yang cerdas, Kyai Mahbub menyarankan dan mengantarkannya untuk nyantri ke Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiien Lirboyo Kediri setelah memperoleh restu dari orang tuanya.
Kiai Ali juga pernah nyantri di sejumlah Pondok Pesantren besar, antara lain Ponpes Krapyak Yogyakarta yang diasuh oleh KH. Raden Abdul Qodir dan KH. Ali Ma’sum untuk mendalami ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Pondok Jampes Kediri yang diasuh oleh KH. Ihsan Ibnu Dahlan, seorang ulama’ ahli tasawwuf pengarang kitab Sirojut Tholibin (sebuah syarah dari kitab Minhajul ‘Abidin karya Imam Ghozali).
Beliau pernah pula berkelana untuk nyantri ke Ponpes Bendo dan Ponpes Tretek di Pare Kediri untuk mengkhatamkan kitabkitabnya kepada KH. Juwaini Nuh. Lalu nyantri ke Pondok Mojosari Nganjuk yang diasuh oleh KH. Zainudin, mengaji kitab Uqudul Juman kepada KH. Jazuli Utsman di Pesantren al-Falah Ploso Kediri, mengaji Kitab Tafsir Jalalain kepada KH. Zubair Jawa Tengah dan ketika masih di Jampes beliau setiap hari Selasa sowan kepada KH. Ma’ruf Kedunglo.
Di setiap pesantren tersebut beliau dikenal sebagai santri yang sangat ta’dhim kepada gurunya dan kepada dzuriyah dari para gurunya. Ketika masih di Lirboyo misalnya, seringkali waktu mbalah kitab hanya sebentar atau diliburkan ketika tahu ada dzurriyah yang tidak hadir. Takdhim beliau kepada gurunya masih terus berlanjut sampai ketika para gurunya sudah wafat, beliau sering ziaroh ke makam guru-guru beliau dengan penuh rasa tawadlu’.
Setelah selesai nyantri di beberapa pondok pesantren tersebut KH. M. Ali Shodiq Umman dihadapkan pada dua pilihan berat. KH. Umar Sufyan, mertuanya, menghendaki beliau tinggal di Mbaran Kediri, sedangkan KH. Mahrus Ali dan KH. Marzuqi Dahlan dari Lirboyo Kediri memberikan amanat untuk berjuang di wilayah Ngunut.
Pada tahun 1966, beliau menetapkan hati memilih melaksanakan amanah dari gurunya untuk berjuang dan membuat pesantren di Ngunut. Diawali de ngan mengadakan pengajian bulan Ramadhan yang diikuti oleh 50 santri dari Pondok Lirboyo. Empat tahun kemudian beliau bersama santrinya berhasil menamatkan kitab Ihya’ ‘Ulumiddin karya Imam Ghozali dan beberapa kitab lainnya.
Setelah pengajian pasan bulan Ramadhan tersebut, pada pertengahan bulan Syawal, pengajian sistem klasikal dan non klasikal sudah mulai beliau terapkan di pesantrennya, dengan materi pelajaran masih disesuaikan dengan kemampuan santri yang ada.
Pada tahun 1967 santri yang belajar semakin bertambah. Sehingga KH. M. Ali Shodiq Umman memutuskan tanggal 21 Rojab 1368 H. atau bertepatan tanggal 1 Januari 1967 M sebagai tanggal berdirinya Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Ngunut. Nama tersebut diambil dari nama Pondok Lirboyo Kediri dengan maksud tafa’ulan (ngalap ketularan) dan mulai menata kurikulum untuk pembelajaran santri secara lebih mapan. Dalam perkembangan berikutnya beliau kemudian membagi jenjang pendidikan di pesantrenya menjadi dua tingkatan, yaitu tingkat Ibtida’iyyah dan tingkat Tsanawiyah dengan tujuan untuk memudahkan penyampaian materi pelajaran dan pada tahun 1984 jenjang pendidikan ditambah satu tingkatan lagi, yaitu tingkat Aliyah.
Pada perkembangan berikutnya beliau juga mendirikan pondok kanak-kanak dengan pendidikan formal SDI Sunan Giri, Pondok Pesantren Putra Sunan Gunung Jati, Pondok Pesantren Putri Sunan Pandanaran yang menampung santri dengan pendidikan formal berupa SMPI dan SMAI Suna Gunung Jati.
Pada hari Jum’at, 23 Juli 1999, KH. Ali Shodiq sakit kemudian dirawat di RSI ORPEHA Tulungagung. Karena perkembangan kesehatan beliau tidak membaik akhirnya pada hari Rabu, 10 Agustus 1999 dirujuk ke Rumah Sakit Darmo Surabaya. Tetapi kondisi kesehatan beliau semakin memburuk, sehingga pada hari Sabtu, 14 Agustus 1999 pukul 10.00 WIB, AL-MUKARROM KH. MUHAMMAD ALI SHODIQ UMMAN wafat menghadap Allah SWT.
(Dari berbagai sumber dan pernah dimuat di majalah Ma’rifat Edisi Kedua tahun 2012 yang diterbitkan oleh LP Ma’arif NU Tulungagung)
Komentar Terbaru