Oleh : Mohammad Fatah Masrun
Kejutan politik yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan adalah datangnya bala tentara sekutu/Inggris. Dengan dilengkapi persenjataan lengkap dan tercanggih pada era itu, mereka datang ke Jakarta bersama belanda pada saat usia kemerdekaan bangsa Indonesia belum genap 1 bulan. Kehadiran bala tentara Inggris tentu sangat mengagetkan dan sedikit membuat galau semua pihak utamanya para tokoh pendiri bangsa.
Sebagai respon atas kedatangan tentara sekutu, langkah awal yang dilakukan oleh Bung Karno dan Bung Hatta adalah melakukan upaya diplomatik mendorong tentara sekutu bekerja secara profesional yakni hanya mengurus tawanan perang jepang saja dan tidak mengutak-ngatik status kemerdekaan Indonesia. Namun ternyata negosiasi antara kedua belah pihak tidak membuahkan hasil. Pada satu sisi Indonesia bersikukuh mempertahankan kemerdekaannya, sementara pihak sekutu sama sekali tidak mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia pada sisi yang lain.
Hingga masuk bulan Oktober 1945, belum ada satupun Negara di dunia yang mengakui kemerdekaan Indonesia dan mengakui lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sikap dunia internasional ini terjadi akibat adanya propaganda pemerintah Belanda yang menyebarkan berita provokatif ke seluruh dunia bahwa Republik Indonesia yang dipimpin Soekarno dan Hatta adalah Negara boneka bikinan Fasisme Jepang. Meyakinkan dunia bahwa Republik Indonesia bukan negara boneka bikinan Fasisme Jepang, melainkan Negara Kebangsaan (Nation State) yang didukung rakyat seluruhnya tentu menjadi sangat berat kala itu.
Sementara itu, pasca datangnya tentara Inggris/sekutu ke Jakarta, situasi politik dalam negeri menjadi memanas, aroma peperangan dan gencatan senjata sudah mulai menyebar. Namun demikian, Bung Karno bersama para tokoh yang lain sadar betul, bahwa secara teknis berhadapan dengan tentara sekutu tentu sangat berat dan kecil kemungkinan bisa menang. Karena persenjataan mereka jauh lebih lengkap dan super canggih. Keahlian militernya tidak diragukan sama sekali karena tentara sekutu merupakan tentara terbaik dan terlatih di dunia saat itu.
Menyadarai akan hal tersebut, Bung Karno mengirim utusan khusus untuk sowan kepada Roisul Akbar Pengurus Besar Nadhatul ‘Ulama yaitu Hadrotussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari di Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang, Jawa Timur. Bung Karno minta diberikan saran, pendapat dan fatwa pemimpin besar NU bagaimana hukumnya berjihad melawan penjajah, membela negara yang notabene bukan negara islam seperti Indonesia.
Pasca menerima dan mendengar pesan dari utusan Bung Karno, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari lantas memanggil KH. Wahab Hasbullah dari Tambak Beras Jombang. Kyai Wahab di minta untuk mengumpulkan para Ketua NU se Jawa-Madura untuk membahas persoalan ini, bukan hanya itu saja, mbah Kyai Hasyim juga meminta kepada para Kyai-Kyai Khos (utama) NU, untuk melakukan istikhoroh, salah satunya adalah mbah Kyai Abbas dari Pon-Pes Buntet Cirebon Jawa Barat.
Walhasil, tepatnya pada tanggal 21-22 Oktober 1945 PBNU menggelar rapat konsul dengan seluruh Delegasi NU Sejawa dan Madura di Kantor Hofdsbestuur NU di Jl. Bubutan VI No 2 Surabaya. Kyai Hasyim langsung memimpin pertemuan tersebut dan kemudian di lanjutkan oleh Kyai Wahab. Setelah berdiskusi yang cukup panjang dan mendengarkan hasil istikhoroh para kiyai sepuh NU, maka pada tanggal 22 Oktober 1945 KH Hasyim Asy’ari kembali menegaskan fatwa wajib hukumnya bagi umat islam melaksanakan jihad melawan penjajah (dalam keterangan lain fatwa jihad fii sabilillah pertama kali disampaikan mbah hasyim pada tanggal 17 September 1945). Oleh karena itu, rapat konsul di Surabaya menetapkan satu keputusan dalam bentuk resolusi yang diberi nama “Resolusi Jihad Fii Sabilillah”, yang mana point utamanya adalah sebagai berikut :
…“Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja)…”
Naskah asli Resolusi Jihad tersebut ditulis dalam huruf arab berbahasa jawa atau biasa disebut huruf pegon dan ditandatangi oleh K.H Hasyim Asy’ari, Fatwa itu kemudian disebarluaskan keseluruh jaringan pesantren, para Komandan Laskar Hizbullah dan Laskar Sabilillah di seluruh penjuru Jawa dan Madura. Bahkan lebih dari itu, dokumen Resolusi Jihad juga di muat dalam sejumlah media masa pergerakan pada masa itu.
Pasca Resolusi Jihad dicetuskan pihak sekutu langsung merespon cepat. Tidak lebih dari tiga hari berikutnya sebanyak 6.000 tentara inggris/sekutu yang diboncengi NICA (Netherlaands Indies Civil Administration) mendarat di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dengan persenjataan lengkap. Pasukan ini di pimpin oleh Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern (AWS) Mallaby.
Mendengar kedatangan pasukan penjajah, ribuan santri dan para Kyai se-Jawa Timur bergerak menuju Surabaya mengawal kemerdekaan dan menunjukkan sikap anti penjajah. Situasi semakin memanas dan cenderung tidak terkendali. Resolusi Jihad NU telah memompa semangat perlawanan rakyat dan memicu terjadinya pertempuran hebat selama 3 hari 3 malam di Surabaya, tanggal 27 sampai tanggal 29 oktober 1945. Tentara sekutu yang berasal dari Inggris kewalahan menghadapi perlawanan Rakyat Jawa Timur.
Tentara sekutu lantas pada tanggal 30 Oktober 1945 mengajak presiden Soekarno dan wakil presiden Moch. Hatta serta Menhan Amir Sjarifuddin berunding di Surabaya. Gencatan senjata dicapai dan ditandatangani pemerintah Indonesia dan Sekutu. Namun, pada sore harinya terjadi insiden di jembatan merah surabaya yang menewaskan orang nomor satu tentara inggris yaitu Brigadir Jenderal AWS Mallaby. Gencatan senjata pun langsung berakhir. Sepeninggal Malaby, sebagai penggantinya adalah Jendral Robert Mansion.
Setelah diangkat menjadi pemimpin pasukan, didampingi Panglima AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) Letjen Philip Christison, Robert Mansion pada tanggal 31 Oktober 1945 memberikan ultimatum kepada laskar pejuang dan tentara Indonesia. Mereka minta pembunuh Jendral Malaby untuk menyerahkan diri. Disamping itu, mereka juga meminta kepada para pejuang agar menyerahkan senjata kepada tentara inggris/ sekutu paling lambat 10 November 1945, jika tidak maka tentara sekutu mengancam akan membumihanguskan Surabaya dan membombardir dari 3 arah sekaligus, baik dari arah laut, darat dan udara.
Akan tetapi Spirit resolusi jihad memang telah menyatu dalam jiwa seluruh rakyat Indonesia. Mendengar ancaman itu, pada tanggal 7-8 November 1945 kaum santri dan tokoh-tokoh Umat Islam pada umumnya mengadakan kongres di Yogyakarta mengukuhkan Resolusi Jihad Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari sebagai kebulatan sikap merespon makin gentingnya keadaan pasca ultimatum AFNEI. Akhirnya pada tanggal 9 November 1945 Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari memberikan instruksi kepada Laskar Hizbullah dari berbagai penjuru untuk merapat ke Surabaya. Laskar Hizbullah diperintahkan siap siaga menghadapi segala kemungkinan dengan satu sikap akhir, menolak menyerah kepada Tentara Inggris. KH Abbas Buntet Cirebon diperintahkan memimpin langsung komando pertempuran. Para komandan resimen yang turut membantu Kiai Abbas antara lain Kiai Wahab (KH. Abd. Wahab Hasbullah), KHR. As’ad Syamsul Arifin, Cak Mansur (KH. Mas Mansur), K.H. Zainal Arifin, KH. Masykur, Cak Roeslan (Roeslan Abdulgani), dan Cak Arnowo (Doel Arnowo).
Diantara beberapa komandan pasukan pembela tanah air itu, ada seorang pemuda yang bernama Soetomo atau yang lebih akrab di panggil Bung Tomo. Ia memberanikan diri menghadap secara khusus kepada Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari. Bung Tomo meminta izin kepada mbah Hasyim untuk menyebarluaskan Resolusi Jihad melalui Radio. Atas restu mbah Hasyim, maka pada malam harinya, Bung Tomo berpidato dan mengobarkan semangat jihad kepada seluruh masyarakat dan laskar di Surabaya. Bung Tomo melalui pidatonya membakar semangat para pejuang dengan pekik takbirnya untuk bersiap syahid di jalan Allah SWT.
“Kita ekstrimis dan rakyat, sekarang tidak percaya lagi pada ucapan-ucapan manis. Kita tidak percaya setiap gerakan (yang mereka lakukan) selama kemerdekaan Republik tetap tidak diakui! Kita akan menembak, kita akan mengalirkan darah siapa pun yang merintangi jalan kita! Kalau kita tidak diberi Kemerdekaan sepenuhnya, kita akan menghancurkan gedung-gedung dan pabrik-pabrik imperialis dengan granat tangan dan dinamit yang kita miliki, dan kita akan memberikan tanda revolusi, merobek usus setiap makhluk hidup yang berusaha menjajah kita kembali!”
“Ribuan rakyat yang kelaparan, telanjang, dan dihina oleh kolonialis, akan menjalankan revolusi ini. Kita kaum ekstrimis, kita yang memberontak dengan penuh semangat revolusi, bersama dengan rakyat Indonesia, yang pernah ditindas oleh penjajahan, lebih senang melihat Indonesia banjir darah dan tenggelam ke dasar samudera daripada dijajah sekali lagi! Tuhan akan melindungi kita! Merdeka! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
Pada tanggal 10 November 1945 bersamaan dengan masa berakhirnya ultimatum AFNEI, pertempuran kembali terjadi dan meluas. Inggris mengerahkan 24.000 pasukan dari Divisi ke-5 dengan persenjataan meliputi 21 tank Sherman dan 24 pesawat tempur dari Jakarta untuk mendukung pasukan mereka di Surabaya. Perang besar benar-benar terjadi antara pasukan pembela tanah air yang sebagian besarnya berasal dari kalangan santri melawan tentara Inggris. Pasukan Kyai Abbas meski dengan persenjataan terbatas dan sebagian besarnya senjata tradisional berhasil memaksa pasukan Inggris kocar-kacir dan berhasil menembak jatuh tiga pesawat tempur RAF Inggris. Ribuan pejuang dan pembela negeri baik dari kalangan santri-kyai pesantren (Ulama) maupun Tentara Keamanan Rakyat (TKR) gugur di medan perang mulia. Mereka adalah pahlawan bangsa yang meninggal dunia dengan status syahid (syuhada).
Dengan demikian, Resolusi Jihad NU tanggal 22 Oktober 1945 merupakan sejarah besar bangsa Indonesia. Meski sejarah itu dilupakan dan tidak tercatat secara resmi dalam sejarah perjuangan Bangsa Indonesia. Seolah ada upaya untuk menghilangkan jejak peran para Santri dan Kyai dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Meski mendapat perlakuan demikian, mereka tetap ikhlas dan kembali ke Pesantren masing-masing untuk mengabdi kepada masyarakat di sekitarnya. Perjuangan mereka lebih didasari oleh rasa cinta tanah air (hubbul wathon minal iman) dan memperjuangkan harkat kemanusiaan, bukan untuk mencari jabatan ataupun kedudukan. Mereka berjuang semata-mata untuk menggapai ridho Allah SWT.
Jarum jam terus berputar dan proses sejarah pun terus berjalan secara dinamis, Pada tahun 2015 lalu Presiden RI Bapak Joko Widodo memberikan kado istimewa kepada kaum santri. Beliau telah menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Penetapan ini beliau lakukan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015. Keppres ini bukanlah suatu bentuk intervensi pemerintah terhadap komunitas pesantren, melainkan sebuah bentuk pengakuan (afirmasi) dan penghormatan (apresiasi) atas besarnya peran andil santri dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, jelaslah kiranya bahwa Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 tak lain merupakan bukti historis komitmen santri dalam membela dan mempertahankan Tanah Air Indonesia./mfm/
Selamat Merayakan
Hari Santri Nasional 2018
Penulis adalah salah satu Wakil Ketua PCNU Tulungagung dan Mantan Komisioner KPU Kabupaten Tulungagung 2009-2018
Komentar Terbaru