Pada abad pertama hijriyah ini periode penting dalam sejarah Islam, di mana umat Islam memulai ajaran-ajaran yang di bawah oleh Rasulullah SAW. Salah satu sumber hukum yang kedua yakni hadis, suatu perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi Muhammad SAW. Untuk mengetahui kebenaran dan tindakan dalam hadis, para ulama terkemuka pada masa itu mengembangkan metode khusus yang dikenal sebagai Manhaj Al-Muhadditsin. Proses pengumpulan dan pemeliharaan hadis di abad pertama hijriyah memiliki peran penting dalam mewariskan ilmu Islam kepada generasi berikutnya.
Adanya pengumpulan awal dalam pengumpulan hadis di abad pertama hijriyah ini terjadi setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, Para sahabatnya menjadi penjaga utama hadis. Mereka dengan tekun mencatat dan menghafalkan setiap kata dan perbuatan Rasulullah. Abdullah bin Amr bin Al-As, tokoh ini terkenal dengan kesungguhannya dalam mencatat hadis. Namun, pada awalnya, pengumpulan hadis dilakukan secara lisan, Adanya peran para sahabat dalam memelihara hadis ini memiliki kehormatan melihat langsung ajaran-ajaran Islam dalam praktiknya, menjadi sumber utama hadis. Mereka tidak hanya menyampaikan hadis, tetapi juga menjelaskan konteks dan tafsirnya. Sahabat seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Ali bin Abi Thalib menjadi pilar dalam penyelidikan dan penyebaran hadis.
Adanya rantai sanad, abad pertama Hijriyah menandai pengenalan rantai sanad atau silsilah perawi dalam pemindahan hadis. Ulama pada masa itu sangat memperhatikan keaslian rantai sanad untuk memastikan keberlanjutan dan keabsahan hadis. Pencatatan dengan nama perawi dan perhatian terhadap integritas perawi menjadi ciri khas dalam pewarisan hadis. Adanya juga pemeriksaan dan filtrasi (jarh wa ta’dil,) proses dalam menilai perawi hadis atau bisa dikenal dengan jarh wa ta’dil, ini berkembang pesat pada abad pertama Hijriyah. Ulama memeriksa karakter dan keadilan perawi untuk memastikan bahwa hadis tersebut dapat diandalkan. Pada saat yang sama, kriteria ini membantu dalam penolakan hadis-hadis yang diragukan keabsahannya.
Selanjutnya, adanya pemeriharaan konteks sejarah, Para ulama pada masa ini memahami pentingnya konteks sejarah dalam memahami hadis. Mereka tidak hanya memperhatikan kata-kata harfiah, tetapi juga situasi dan konteks tempat hadis diucapkan. Hal ini memberikan kedalaman pemahaman terhadap ajaran Islam yang diteruskan melalui hadis. manhaj Al-Muhadditsin tidak hanya memperhatikan aspek-aspek teknis dalam menilai keabsahan hadis, tetapi juga memperhitungkan konteks sejarah dan kultural saat hadis tersebut diucapkan. Ini membantu dalam memahami makna sebenarnya dari hadis dan menghindari penafsiran yang salah.
Kemudian adanya penyusunan dan kompilasi hadis, meskipun pada awalnya hadis ini disampaikan secara lisan, tetapi pada abad pertama hijriyah munculnya upaya penyusunan dan kompilasi hadis dalam bentuk tertulis. Salah satu karya pada masa abad pertama ini adalah “Musnad” karya Imam Ahmad bin Hanbal, yang mengumpulkan hadis-hadis berdasarkan perawi. Adanya juga penolakan terhadap hadis maudu’(palsu) salah satu fokus utama manhaj al-muhadditsin adalah mengidentifikasi dan menolak hadis palsu (maudu’). Mereka memiliki kriteria ketat untuk menentukan keaslian hadis, dan apabila ada indikasi bahwa suatu hadis adalah rekayasa atau palsu, maka itu ditolak dengan tegas.
Manhaj Al-Muhadditsin pada abad pertama Hijriyah ini menciptakan landasan kuat untuk pengumpulan, pemeliharaan, dan penyebaran hadis dalam Islam. Para sahabat sebagai sumber utama, peran rantai sanad, kriteria Jarh wa Ta’dil, dan pemahaman konteks sejarah menjadi landasan kuat pewarisan ilmu hadis.Kehati-hatian dalam menilai perawi, memeriksa kesesuaian dengan Al-Qur’an, dan penolakan terhadap hadis palsu menjadikan warisan hadis pada periode ini sebagai sumber ilmu yang dapat dipercaya. Prinsip-prinsip ini terus membimbing para ulama Islam dalam menjaga keaslian dan integritas hadis hingga saat ini.(*)
Penulis: Salsa Bintang Choiria, mahasiswa di Universitas Negeri Islam Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.
Komentar Terbaru