Oleh : Ustadz H. Bagus Ahmadi
Katib Syuriah PCNU Tulungagung
Kitab Al-Hikam ditulis oleh Syekh Ahmad bin Muhammad bin ‘Athaillah As-Sakandari, ada yang membaca al-Iskandari. Ibnu ‘Athaillah lahir di Iskandariah Mesir, tahun 648 H atau 1250 M. Ia wafat di Kairo, 1309 M.
Ibnu ‘Athaillah adalah guru ketiga dalam thariqah Syadziliyah, setelah Imam Abul Hasan asy-Syadzili dan Syekh Abul Abbas Ahmad bin Ali al-Anshari al-Mursi.
Seperti ulama pada zamannya yang ensiklopedis, Syekh Ibnu Athaillah juga menulis karya yang meliputi banyak kajian. Mulai dari tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, ushul fiqh hingga nahwu. Selain al-Hikam, berapa karyanya antara lain: at-Tanwir fi Isqath at-Tadbir, Unwanut Taufiq fi Adabit Thariq, Tajul ‘Arus al-Hawi litahdzibin Nufus, Miftahul Falah dan Al-Qaulul Mujarrad fil Ismil Mufrad. Namun, hanya al-Hikam yang hingga kini dikaji dan banyak mendapat perhatian di banyak pusat-pusat kajian Islam di seluruh dunia.
Banyak ulama juga menulis syarah atas al-Hikam, di antaranya Syekh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah an-Nafzi ar-Randi, Syekh Ahmad Zarruq, Syekh Abdullah bin Hijazi al-Khalwati, dan Syekh Ahmad bin Muhammad ‘Ajibah al-Hasani.
Al-Hikam pada awalnya merupakan hasil pendiktean (imla’) yang dilakukan Syekh Ibnu ‘Athaillah kepada salah seorang muridnya, Taqiyyuddin as-Subki (w 756 Hijriyah). Belakangan, Syekh Ahmad Zarruq (w 899 Hijriyah), seorang guru tarekat Syadziliyah, menemukan hasil dikte ini dari seorang pakar hukum bermazhab Syafi’i, Syamsuddin as-Sakhawi pada 876 H di Kairo. Sanad atas al-Hikam telah ada sejak di tangan Taqiyyuddin as-Subki. Kitab ini diduga ditulis pertama ketika Ibnu ‘Athaillah masih berguru pada Syekh Abu al-Abbas al-Mursi pada 674 hijriah.
Dengan demikian, bisa diperkirakan bahwa al-Hikam ditulis dalam masa 12 tahun.
Kitab Al-Hikam disusun dalam tiga bagian pokok, yakni aforisme, risalah, dan doa. Ada 262 aforisme dan 25 bab dalam keseluruhan al-Hikam.
Kendati begitu, dalam bentuk awalnya al-Hikam tidak tersusun ke dalam bab-bab. Para murid Ibnu ‘Athaillah kemudian yang merasa perlu merapikannya. Tema dasar al-Hikam adalah makrifat dan tauhid, yaitu bahwa Allah adalah Zat yang al-Haq.
Kitab al-Hikam diakhiri dengan untaian doa yang bernilai puitis pula. Ibnu ‘Athaillah memandang munajat sebagai momentum yang penting dalam membangun hubungan dengan Allah ta’ala.
Kuncinya adalah tersingkirnya kesombongan dalam kalbu manusia. Sebab, rasa cinta kepada Allah hanya bisa diperoleh melalui sikap berserah diri secara utuh tanpa paksaan, tanpa pura-pura.
Penulis mengaji kitab Al-Hikam di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri yang dibacakan oleh KH. Ahmad Idris Marzuki. Pengajian dilaksanakan tiap hari Kamis Legi yang diikuti oleh para alumni Lirboyo, santri-santri senior, dan masyarakat umum. Setelah wafatnya Mbah Kyai Idris, pengajian Al-Hikam dilanjutkan oleh KH.M. Anwar Manshur hingga sekarang. Saat ini beliau membacakan syarah al-Hikam yang ditulis oleh Syekh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah an-Nafzi ar-Randi.
Sanad kitab Al-Hikam yang sampai kepada penulis dari kedua guru mulia diatas sebagai berikut:
KH. Ahmad Idris Marzuki dan KH.M. Anwar Manshur dari Syekh Muhammad Yasin al-Fadani dari Syekh Muhammad Ali al-Maliki dari Sayyid Bakri Syatha dari Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan dari Syekh Utsman bin Hasan ad-Dimyathi dari Syekh Abdullah as-Syarqawi dari Syekh Ahmad bin Abdul Fattah al-Malawi dari Syekh Ahmad bin Muhammad an-Nakhli dari Syekh Abdullah bin Sa’id Ba Qusyair al-Makki dari Sayyid Umar bin Abdurrahim al-Bashri dari as-Syams Muhammad bin Ahmad ar-Ramli dari al-Qadli Zakariya bin Muhammad al-Anshari dari Syekh Abdurrahim bin Muhammad bin al-Furrat dari Qadlil Qudlat Tajuddin Abdul Wahab bin Qadli Taqiyuddin Ali bin Abdul Kafi as-Subuki dari Ayahnya, Qadli Taqiyuddin Ali bin Abdul Kafi as-Subuki dari muallif al-Hikam Al-Imam al-Arif billah Tajuddin Ahmad bin Abdul Karim bin ‘Athaillah as-Syadzili al-Iskandari.
Jalur sanad yang berbeda dari kedua Masyayikh diatas adalah sebagai berikut:
KH. Ahmad Idris Marzuki dan KH.M. Anwar Manshur dari Syekh Muhammad Yasin al-Fadani dari Syekh Ali bin Abdullah al-Banjari al-Makki dan Syekh Khalid bin Utsman al-Makhlafi az-Zabidi, Keduanya dari al-Musnid Zainuddin bin Badawi as-Sumbawi al-Makki dari Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani dari Syekh Abdusshamad bin Abdurrahman al-Falimbani dari Sayyid Ahmad bin Sulaiman al-Hajjam al-Husaini az-Zabidi dari Sayyid Ahmad bin Idris bin Abdullah al-Idrisi dari Syekh Hasan bin Abdus Syakur at-Thaifi dari Sayyid Muhammad bin Abu Bakar asy-Syalli al-Makki as-Syams Muhammad bin al-‘Ala al-Babili dari Syekh Abdur Rauf al-Munawi dan Syekh Salim bin Muhammad, Keduanya dari an-Najm Muhammad bin Ahmad dari al-Qadli Zakariya bin Muhammad al-Anshari dari Syekh al-‘Izz Abdurrahim bin Muhammad bin al-Furrat dari Qadlil Qudlat Tajuddin Abdul Wahab bin Qadli Taqiyuddin Ali bin Abdul Kafi as-Subuki dari Ayahnya, Qadli Taqiyuddin Ali bin Abdul Kafi as-Subuki dari muallif al-Hikam Al-Imam al-Arif billah Tajuddin Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin ‘Athaillah as-Syadzili as-Sakandari.
“Tuhanku… Betapa lembut Engkau padaku meski besarnya kebodohanku.
Tuhanku… Betapa kasih Engkau padaku meski buruknya perbuatanku.
Tuhanku… Betapa dekat Engkau padaku dan betapa jauh aku dari-Mu.
Tuhanku… Apakah yang bisa ditemukan oleh seseorang yang kehilangan-Mu? Dan apakah yang bisa hilang dari seseorang yang menemukan-Mu?
Komentar Terbaru