Oleh: Rifa’i (Ketua ISNU Tulungagung)

Pandemi Covid-19 yang belum jelas ujung penyelesaiannya menjadi persoalan serius bagi kehidupan manusia modern saat ini. Tak terkecuali di dunia santri / pesantren. Tatanan kehidupan baru berdampingan dengan wabah Corona atau Sars-CoV-2 (2019-nCoV) sepertinya menjadi pilihan yang tidak terelakkan.

Dan kalau sudah begitu, opsi, strategi, dan model tata laksana seperti apa yang bisa dilakukan dunia santri agar bisa tetap berjalan dengan risiko infeksi paling minimal, bahkan jika mungkin dicegah hingga rasio 100 persen, sehingga korban tak terus berjatuhan? Berikut tiga model opsi pendekatan yang bisa ditempuh komunitas pesantren menyongsong tatanan dunia baru tersebut

Diakui atau tidak, pemerintah mulai gelisah dengan dampak pandemi di kuartal pertama (3 bulan terakhir). Bukan saja korban yang terus meningkat, namun efek domino yang ditimbulkan. Pelambatan ekonomi di semua sektor begitu luar biasa. Geliat ekonomi secara makro memburuk, bahkan merambah ke sektor nonekonomi, mulai sosial, budaya, pendidikan bahkan ranah politik dan pertahanan-keamanan.

Ada kekewatiran pandemi masih akan berlangsung tidak seperti yang diperkirakan. Rencana tetap saja sebuah rencana. Sepandai dan secanggih apapun ilmu manusia, kehendak Tuhan dengan segenap kekuasaannya atas alam dan isinya menjadi hal yang tak bisa dilawan.

Pada akhirnya, yang bisa dilakukan adalah bagaimana kita bisa beradaptasi dengan lingkungan baru, lalu memanfaatkan energinya untuk menyongsong kehidupan baru. Bertahan dan menjadi lebih baik lagi.

Ya, masalah mendasar yang kita hadapi sekarang adalah fakta bahwa Covid-19 sangat mungkin masih akan berlangsung dalam periode yang panjang. Jika prediksi semula wabah 2019-nCoV ini bakal berakhir di bulan Mei, dan Juni sudah mulai reda dan kehidupan akan kembali normal, ternyata skenario itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Bahkan sampai akhir Juni pun, pakar epidemologi tidak berani meyakinkan bahwa secara teoritis pandemi Covid-19 sudah akan selesai.

Bukan hanya sektor ekonomi saja yg dikhawatirkan bakal semakin memburuk. Tetapi seluruh lini kehidupan akan mengalami ancaman bila pandemi tidak kunjung berakhir. Sementara kita di satu sisi hanya bisa menunggu kapan akan ada vaksin yg bisa digunakan untuk menangkal wabah yang memiliki kecepatan “spreading” cukup tinggi ini.

Beberapa pakar mengatakan kemungkinan vaksin ditemukan masih di hitungan tahun, seiring dengan perkembangan mutasi dari virus itu sendiri.

Sektor pendidikan, khususnya pendidikan yang berbasis pesantren, menjadi salah satu lingkungan yang tentu juga sangat terdampak dengan adanya pandemi ini. Apalagi di lingkungan pesantren ini, dikenal banyak mengumpulkan orang dalam suatu tempat, khususnya pesantren yang ada santri bermukim.

Presiden Jokowi pun sudah mengatakan, bahwa kita harus berani untuk hidup berdampingan dengan virus Covid-19 ini. Dalam bahasa akademis dikenal dengah istilah “The New Normal of Lifestyle”. Tata kehidupan normal baru dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat dalam kehidupan sehari-hari, di semua lini/sektor.

Konsep tatanan kehidupan baru ini sebenarnya tidak ada yang luar biasa. Gambarannya, sama halnya ketika kita harus berdampingan dengan virus yg lain seperti demam berdarah maupun HIV/AIDS, SARS, flu burung dan lain-lain. Tentu masing-masing virus mempunyai karakter sendiri/berbeda satu sama lain. Terutama dalam hal bagaimana kita memproteksinya atau protokol kesehatan.

Pilihan sulit memang bagi pesntren. Bila harus memilih apakah santri harus segera masuk atau ditunda sampai waktu yang kita tidak pernah tahu kapan Covid-19 ini berakhir.

Kondisi yang belum pasti di era pandemi inilah yang menginspirasi penulis untuk mencoba memberikan gambaran pilihan bagi pesantren. Ada 3 (tiga) mahzab pilihan untuk menjadi renungan bagi kita bersama;

1. Mahzab *imunisasi alam*.( santri terimunisasi secara alami)

Model ini diterapkan dengan kita membiarkan semua santri bisa beraktifitas seperti biasa. Namun dengan tetap mematuhi proktokol kesehatan, tanpa ada skrining ketika masuk di pesantren masing-masing, sehingga semakin banyak otg dan akan terseleksi secara alamiah yang sakit akan di lakukan tredment di pelayanan keaehatan. angka kesakitan/_morbiditas_ bila semua terpapar hanya kurang lebih 17 persen dan angka mortalitas atau angka kematian pada usi santri tdk lebih dari 0,02 persen (ini hanya mengacu pada kasus yang ada di Tulungagung, tentu di tiap daerah bisa berbeda namun juga tidak terlalu jauh). Inipun biasanya hanya pada santri-santri yang daya tahan tubuh rendah, punya penyakit bawaan/santri berisiko, dan tanpa skrining secara ketat di awal.

Bagaimanapun, ini adalah pilihan yang sedikit ektrem dan akan banyak pertentangan namun tidak banyak mengeluarkan anggaran serta tdk perlu banyak pemikiran.

yang perlu menjadi catatan ketika masuk wali santti harus menandatangani inform consent atau surat pernyataan bila ada yg terpapar maka wali santri tdk boleh menuntut dan menyalahkan pondok

2. Mahzab *Preventif Ketat*./pencegahan

Opsi kedua ini maksudnya adalah, ketika santri mulai masuk, maka pondok pesantren sudah menyiapkan sarana dan prasarana yg memadai. Dengan opsi ini, santri wajib dilakukan rapid tes ketat. Harus ada pula pemisahan yang jelas dan terukur, antara santri yang positif dan negatif.

Bila memungkinkan santri yang positif dikarantina agak jauh dari santri yang negatif. Atau jika perlu dilakukan karantina yang di siapkan oleh pemerintah daerah sambil menunggu hasil PCR.

Protokol kesehatan tentu tetap menjadi bagian dari pilihan ini. Kemudian sepekan berikutnya dilakukan rapid tes lagi untuk memastikan kondisi santri dan ustad yang pada pekan pertama hasil rapid tes negatif atau nonreaktif. Ini adalah pilihan yang paling ideal namun tentu memerlukan anggaran yang tidak sedikit.

3. Mahzab *campuran* atau *kolaborasi*. Ini menjadi pilihan alternatif di antara pilihan satu dan dua. Opsi campuran ini mungkin bisa menjadi solusi. Santri masuk secara bertahap dan dilakukan rapid tes bagi kaum rentan dan risiko tinggi. Seperti santri dan ustad dengan penyakit bawaan, para ustad yg berusia lebih dari 50 tahun, poro kyai sepuh dan kelompok rentan lain. Protokol kesehatan harus tetap menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari

Meskipun ini juga masih mempunyai risiko, ada santri yang OTG (orang tanpa gejala) bisa menularkan pada yang lain tetapi secara psikologis para santri , ustaf dan wali santri merasa sedikit tenang karena ada proses skrining.

Tiga opsi di atas, mungkin bisa menjadi bahan renungan kita bersama. Meskipun di tiap pilihan tidak ada yang mudah. Tetapi pasti ada hikmah di antara apa yang akan kita putuskan bersama.

Sebagai catatatn penting adalah kita harus melindungi kaum rentan yaitu orang tua, ibu hamil, balita serta orang dengan penyakit bawaan.(*)